Ringkasan Singkat
Video ini menceritakan pengalaman Mang Obet, seorang pekerja asal Sunda di Jepang, yang terkejut dengan budaya kerja di sana, terutama terkait pengelolaan hasil pertanian. Di Jepang, hasil pertanian berkualitas tinggi sering dibuang karena tidak memenuhi standar atau terlewat masa panen. Video ini juga membahas perbedaan budaya antara Jepang dan Indonesia dalam hal pemanfaatan barang yang tidak layak jual, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi.
- Budaya Jepang menekankan total quality management (TQM) yang ketat, di mana barang yang tidak memenuhi standar langsung dibuang tanpa dimanfaatkan.
- Di Indonesia, terdapat nilai sosial yang tinggi dalam memanfaatkan barang yang masih bisa digunakan, meskipun tidak layak jual.
- Perbedaan budaya ini memengaruhi cara pandang terhadap pekerjaan, kehidupan sosial, dan keberlanjutan.
Pengantar: Mang Obet dan Pengalamannya di Jepang
Mang Obet, seorang pria Sunda yang bekerja di Jepang dengan gaji 20 hingga 30 juta per bulan, merasa heran dengan banyaknya timun dan semangka berkualitas tinggi yang dibuang. Hal ini terjadi karena hasil panen tidak sempat dipanen atau tidak memenuhi standar kualitas yang ketat. Mang Obet menceritakan pengalamannya ini dalam bahasa Sunda, yang kemudian diterjemahkan agar dapat dipahami oleh lebih banyak orang.
Budaya Kerja di Jepang: Antara Efisiensi dan Pemborosan
Mang Obet mengungkapkan kekecewaannya karena hasil pertanian yang seharusnya bisa dibagikan kepada tetangga atau pekerja justru dibuang. Ia bahkan memiliki trik untuk menyelamatkan semangka yang terbuang dengan meminta izin untuk membuangnya, namun kemudian membawanya pulang untuk dimakan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan budaya antara Jepang dan Indonesia dalam hal pemanfaatan sumber daya.
Total Quality Management (TQM) vs. Nilai Sosial di Indonesia
Di Jepang, budaya total quality management (TQM) sangat dijunjung tinggi. Hasil pertanian yang tidak memenuhi standar kualitas akan langsung dibuang, tanpa boleh dimanfaatkan oleh siapa pun. Hal ini berbeda dengan budaya di Indonesia, di mana barang yang tidak layak jual masih bisa dimanfaatkan atau dibagikan kepada yang membutuhkan. Mang Obet mencontohkan, di bengkel Auto 2000, suku cadang yang rusak sedikit pun harus diganti, tidak bisa diperbaiki.
Target dan Sistem Kerja di Jepang
Sistem kerja di pertanian Jepang sangat terstruktur dan berorientasi pada target. Bahkan saat hujan, para pekerja tetap harus bekerja untuk memenuhi target pengiriman. Hasil pertanian diseleksi dengan ketat, dan yang tidak memenuhi standar akan dibuang. Semangka berkualitas bagus pun bisa dibuang jika sudah ada tanda-tanda akan membusuk.
Perbandingan Budaya: Jepang, Cina, dan Indonesia
Mang Obet menjelaskan bahwa pemilik lahan tempat ia bekerja sangat ketat dalam menerapkan aturan. Semangka yang dibuang tidak boleh diambil oleh karyawan. Hal ini kontras dengan budaya di Cina, di mana barang-barang sisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk. Mang Obet mengajak penonton untuk merenungkan budaya mana yang sebaiknya diambil, dengan mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya. Jepang memang maju, tetapi angka kelahiran rendah. Sementara Indonesia, meski tidak semaju Jepang, memiliki kehidupan sosial yang lebih baik dengan adanya nilai-nilai gotong royong dan kepedulian terhadap sesama.