Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang tantangan dalam menyatukan berbagai disiplin ilmu di bawah filsafat kesatuan ilmu (Unity of Sciences). Poin-poin utama meliputi pentingnya ilmu yang kosmologis, tantangan metodologi akibat perbedaan pendekatan antara ilmu alam dan ilmu sosial, pilar-pilar filsafat ilmu (ontologi, epistemologi, aksiologi), tujuan filsafat kesatuan ilmu, resistensi disipliner, reduksionisme metodologis, dan perlunya pluralisme metodologis yang terintegrasi, terutama dalam konteks integrasi Islam dan sains di Indonesia.
- Pentingnya ilmu yang kosmologis sebagai solusi persoalan umat manusia.
- Tantangan metodologi dalam menyatukan ilmu alam dan ilmu sosial.
- Pilar-pilar filsafat ilmu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
- Tujuan filsafat kesatuan ilmu: integrasi disiplin ilmu dan nilai-nilai agama.
- Perlunya pluralisme metodologis yang terintegrasi.
Pentingnya Ilmu yang Kosmologis
Pembicara menekankan bahwa belajar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan perspektif keilmuan yang dapat dikembangkan dalam konteks kehidupan yang berelasi dengan relasi suci kosmologis dengan Allah, antar manusia, dan dengan alam. Ilmu pengetahuan harus lahir dari fenomena kosmologis dan menjadi solusi atas persoalan umat manusia.
Tantangan Metodologi dalam Filsafat Kesatuan Ilmu
Tantangan utama dalam menyatukan ilmu adalah perbedaan metode antara ilmu alam (kuantitatif, eksperimental, objektivitas) dan ilmu sosial/humaniora (kualitatif, interpretatif, kontekstual). Selain itu, terdapat resistensi dari ego masing-masing disiplin ilmu untuk disatukan metodenya, serta reduksionisme metodologis di mana ilmu tingkat tinggi direduksi oleh ilmu tingkat dasar, padahal fenomena tingkat tinggi memiliki sifat-sifat emergen yang otonom.
Pilar Filsafat Ilmu
Setiap kajian dan pembacaan buku harus mempertimbangkan tiga elemen filsafat ilmu. Ontologi mempelajari hakikat realitas atau objek ilmu ciptaan Tuhan. Epistemologi membahas metode sistematis untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dan menemukan kebenaran. Aksiologi mengkaji tujuan dan nilai ilmu pengetahuan, di mana tujuan ilmu dilihat sebagai kesatuan yang berakar pada Allah untuk tujuan duniawi maupun ukhrawi.
Tujuan Filsafat Kesatuan Ilmu
Tujuan utama dari kajian filsafat kesatuan ilmu adalah untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dalam satu lingkungan akademik. Hal ini mencakup menyatukan ilmu pengetahuan alam (sains) dan nilai-nilai agama untuk menciptakan ilmu yang utuh dan tidak bertentangan, serta mencari pengetahuan yang memiliki satu tujuan, yaitu mencari hukum alam yang sudah ditetapkan Allah SWT.
Tantangan Metodologis Signifikan dalam Proyek Kesatuan Ilmu (Unity of Sciences)
Proyek kesatuan ilmu bertujuan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu menjadi kerangka pengetahuan yang koheren. Namun, upaya ini menghadapi tantangan metodologis yang signifikan, termasuk perbedaan epistemik dan metode antara ilmu alam dan ilmu sosial/humaniora, resistensi institusional dari disiplin ilmu, dan isu reduksionisme metodologis.
Perbedaan Epistemik dan Metode: Dualisme Ilmu Alam vs Ilmu Sosial/Humaniora
Tantangan mendasar dalam menyatukan ilmu terletak pada perbedaan hakikat objek dan pendekatan epistemik antara ilmu alam dan ilmu sosial/humaniora. Ilmu alam cenderung menggunakan pendekatan monisme metodologis (kuantitatif, eksperimental, objektivitas), sementara ilmu sosial/humaniora sering menggunakan metode kualitatif, interpretatif, dan kontekstual.
Resistensi Disipliner dan Ego Keilmuan
Upaya penyatuan metode sering menghadapi penolakan yang muncul dari ego keilmuan atau kekhasan otonom disiplin. Ilmuwan cenderung mempertahankan otoritas dan keapsahan metodologi mereka sendiri. Integrasi ilmu tidak hanya menuntut penyatuan konsep, tetapi juga penyatuan nilai dan cara pandang.
Reduksionisme Metodologis dan Properti Emergen
Reduksionisme metodologis adalah pandangan bahwa metode dan hukum ilmu tingkat tinggi dapat direduksi ke ilmu tingkat dasar. Tantangan kritisnya adalah fenomena di tingkat yang lebih tinggi memiliki properti emergen yang tidak dapat diprediksi atau dijelaskan hanya dengan pengetahuan dari tingkat yang lebih rendah.
Kesimpulan: Tantangan Metodologis terhadap Kesatuan Ilmu
Proyek integrasi tidak seharusnya bertujuan pada monisme metodologis yang reduktif. Pendekatan yang berhasil harus berakar pada pluralisme yang terintegrasi, mengakui keapsahan dan kekhasan metode setiap disiplin sambil mencari jembatan konseptual melalui pilar ontologi dan aksiologi.
Perbedaan Epistemik dan Metode: Dualisme Ilmu Alam vs Ilmu Sosial/Humaniora (Pengulangan)
Tantangan paling fundamental dalam proyek kesatuan ilmu adalah adanya dualisme epistemik dan metodologis yang kuat antara ilmu alam dan ilmu sosial/humaniora. Perbedaan ini berakar pada hakikat objek studi dan tujuan penyelidikan. Ilmu alam menekankan objektivitas dan penjelasan kausal, sementara ilmu sosial/humaniora berfokus pada pemahaman dan interpretasi kualitatif.
Resistensi Disipliner, Penolakan, dan Ego Keilmuan (Pengulangan)
Secara sosiologis dan institusional, integrasi ilmu menghadapi penolakan yang kuat yang sering disebut sebagai resistensi disipliner atau ego keilmuan. Setiap disiplin ilmu telah membangun identitas, kurikulum, dan komunitas akademiknya sendiri.
Reduksionisme Metodologis: Isu Properti Emergen (Pengulangan)
Reduksionisme metodologis berpandangan bahwa semua ilmu dapat dijelaskan dan direduksi hingga ke tingkat yang paling dasar yaitu fisika. Tantangan utama terhadap reduksionisme adalah keberadaan properti emergen yang muncul pada sistem yang kompleks dan tidak dapat diprediksi atau dijelaskan sepenuhnya hanya dengan menganalisis komponen pada tingkat yang lebih rendah.
Kesimpulan: Proyek Kesatuan Ilmu Menghadapi Jalan yang Kompleks
Untuk mencapai integrasi yang bermakna, proyek kesatuan ilmu harus bergerak melampaui cita-cita monisme metodologis yang kaku. Solusi terletak pada pengakuan pluralisme metodologis yang terintegrasi, sebuah kerangka yang menghormati perbedaan metode antara ilmu alam dan ilmu sosial, mengatasi resistensi disipliner dengan kolaborasi, dan mengakomodasi kompleksitas melalui konsep properti emergen.
Perbedaan Epistemik dan Metode: Dualisme Ilmu Alam vs Ilmu Sosial/Humaniora (Pengulangan 2)
Tantangan paling fundamental dalam proyek kesatuan ilmu terletak pada perbedaan hakikat objek dan pendekatan epistemik antara ilmu alam dan ilmu sosial/humaniora. Gerakan positivisme logis menganjurkan pandangan bahwa semua pengetahuan harus dapat direduksi dan disatukan di bawah fondasi fisika.
Resistensi Disipliner, Penolakan, dan Ego Keilmuan (Pengulangan 2)
Tantangan sosiologis dan institusional dalam penyatuan ilmu adalah adanya resistensi disipliner dan penolakan terhadap monisme metodologis. Setiap disiplin ilmu telah membangun otonomi intelektualnya sendiri, lengkap dengan kriteria validitas dan standar etika yang unik.
Reduksionisme Metodologis: Isu Properti Emergen (Pengulangan 2)
Isu kritis dalam proyek kesatuan ilmu adalah kecenderungan reduksionisme metodologis, yaitu pandangan bahwa ilmu tingkat tinggi dapat dijelaskan sepenuhnya oleh hukum dan metode ilmu tingkat dasar. Tantangan utama terhadap reduksionisme adalah keberadaan properti emergen.
Kesimpulan: Tantangan Metodologis terhadap Kesatuan Ilmu (Pengulangan)
Tantangan metodologis terhadap kesatuan ilmu menunjukkan bahwa proyek integrasi yang berhasil harus menjauhi model monistik yang reduktif. Solusi terletak pada pengakuan pluralisme metodologis yang terintegrasi, sebuah kerangka yang menghormati otonomi dan kekhasan metode setiap disiplin sambil mencari jembatan konseptual melalui ontologi dan aksiologi.
Tantangan Aksiologis: Integrasi Nilai-Nilai Transendental
Dalam konteks keilmuan Islam, tantangan metodologis tidak hanya bersifat epistemologis, tetapi juga aksiologis. Tantangan ini adalah bagaimana menyatukan ilmu tanpa menanggalkan nilai-nilai agama. Gagasan filsafat kesatuan ilmu Wahdatul Ulum di Indonesia menekankan bahwa semua ilmu bersumber dari satu zat yaitu Allah SWT.
Kesimpulan Akhir
Proyek kesatuan ilmu menghadapi jalan yang kompleks. Untuk mencapai integrasi yang bermakna, ia harus bergerak melampaui tuntutan monisme metodologis barat yang reduktif. Solusi terletak pada pengakuan pluralisme metodologis yang terintegrasi yang menghormati otonomi disiplin dan mengakomodasi properti emergen. Lebih dari itu, di konteks Indonesia, integrasi menuntut penyelesaian tantangan aksiologis, menciptakan ilmu yang berlandaskan nilai-nilai transendental tauhid agar ilmu dapat menjadi solusi komprehensif bagi masalah kemanusiaan.

