Dokumentasi Budaya dan Budaya Dokumentasi | WICARA FKY 2021

Dokumentasi Budaya dan Budaya Dokumentasi | WICARA FKY 2021

Ringkasan Singkat

Video ini adalah rekaman acara "Bicara" dari Festival Kebudayaan Yogyakarta 2021, yang membahas tema "Merekam atau Mereka Rekam" dengan fokus pada pendokumentasian budaya. Acara ini menghadirkan Bapak Mahmud Efendy dan Bapak Lono Simatupang sebagai pembicara.

  • Pentingnya dokumentasi budaya sebagai bagian dari pembangunan demokrasi dan identitas masyarakat.
  • Tantangan dalam mendokumentasikan budaya di tengah masyarakat bekas jajahan dan era digital.
  • Pergeseran paradigma arsip dari sekadar bukti menjadi memori, identitas, dan sumber daya sosial.
  • Pentingnya melibatkan masyarakat sebagai subjek aktif dalam pendokumentasian budaya.
  • Budaya rekam dalam masyarakat Jawa, yaitu "ilmu Titen," dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
  • Peran negara dalam melindungi dan melestarikan kebudayaan, serta pentingnya pengakuan terhadap kedaulatan pengetahuan masyarakat.

Pembukaan

Acara dimulai dengan pembukaan yang meriah, menampilkan musik dan tepuk tangan. Kemudian, moderator menyampaikan pengantar tentang forum diskusi mengenai museum dan arsip, yang seringkali diwarnai dengan keluhan tentang kurangnya keterlibatan publik dan tantangan dalam pendokumentasian budaya di era digital. Diskusi ini bertujuan untuk menempatkan warga sebagai subjek aktif dalam kerja dokumentasi budaya dan mencari model dokumentasi budaya yang kontekstual.

Pengantar Acara Bicara

"Bicara" adalah salah satu mata acara dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta yang dirancang untuk menghidupkan ruang percakapan dan diskursus seputar preservasi pengetahuan atau kebudayaan serta keberdayaan warga. Tema FKY 2021, "Merekam atau Mereka Rekam," menyoroti bahwa kerja pendokumentasian tidak pernah bisa netral. Bapak Mahmud Efendy dan Bapak Lono Simatupang akan berbagi pandangan mereka tentang dokumentasi budaya, yang akan dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab bersama peserta.

Paparan Bapak Mahmud Efendy

Bapak Mahmud memulai dengan membahas sejarah lembaga kearsipan, yang awalnya didirikan di Perancis pada abad ke-19 dan melihat arsip sebagai bukti. Kemudian, arsip berkembang menjadi memori publik dan identitas, dengan paradigma yang berfokus pada arsip sebagai sumber daya sosial. Di Indonesia, institusi kearsipan berhenti pada tahap identitas, sementara institusi kebudayaan terus berlanjut hingga tahap komunitas. Bapak Mahmud juga menyoroti pentingnya mengidentifikasi dan mendokumentasikan budaya Alif (kecil) di Yogyakarta, yang banyak di antaranya belum tercatat dalam direktori kekayaan budaya.

Identifikasi Budaya Alif

Bapak Mahmud menekankan pentingnya mendokumentasikan warisan budaya Alif, yang banyak di antaranya belum didokumentasikan. Ia memberikan contoh tradisi pembukaan Cupu Panjala di Gunungkidul, yang merupakan warisan intelektual lokal. Bapak Mahmud juga menyoroti bagaimana masyarakat melestarikan benda-benda pusaka secara turun temurun, yang merupakan proses reservasi. Selain itu, ada banyak tradisi lisan dan pengetahuan masyarakat bawah yang perlu didokumentasikan dan digali, terutama yang terkait dengan desa wisata.

Mengarsip Warisan Budaya Alif

Bapak Mahmud menjelaskan cara mengarsip warisan budaya Alif dengan mengacu pada panduan dari Jenit dan Dominic dalil. Ia menekankan bahwa pendokumentasian tidak boleh berhenti pada rekam saja, tetapi harus bergerak sampai ke abadikan (curing), yang meliputi pengelolaan, perawatan, presentasi, dan penyimpanan. Ada berbagai jenis arsip yang dihasilkan dari perekaman, seperti sound recording, transkrip, foto, dan video, yang masing-masing memerlukan cara perawatan yang berbeda.

Mengabadikan Arsip Warisan Budaya Alif

Bapak Mahmud menjelaskan bahwa ada tiga institusi yang mempunyai kewajiban untuk mengabadikan dan merawat arsip warisan budaya Alif, yaitu institusi kebudayaan dan institusi kearsipan. Institusi kearsipan memiliki struktur dan peralatan yang lengkap, tetapi belum mengakui semua dokumen warisan budaya sebagai arsip. Oleh karena itu, kerjasama antara lembaga kebudayaan dan institusi kearsipan sangat penting, terutama di Jogja yang istimewa. Arsip original disimpan di lembaga kearsipan, sementara duplikatnya dapat diakses oleh publik melalui lembaga kebudayaan atau komunitas.

Tanggapan Mbak Lis atas Paparan Bapak Mahmud

Mbak Lis merangkum poin-poin penting dari paparan Bapak Mahmud, termasuk pergeseran paradigma arsip dari evidence menjadi memori, identitas, dan komunitas. Ia juga menyoroti penggunaan istilah "warisan budaya Alif" dan risiko "neo-kolonialisme memori" jika arsip dijauhkan dari publik. Mbak Lis juga penasaran dengan contoh-contoh tradisi atau budaya Alif yang terancam karena perspektif modern.

Paparan Bapak Lono Simatupang

Bapak Lono melanjutkan diskusi dengan membahas budaya rekam dalam masyarakat, yang disebut "ilmu Titen" di Jawa. Ilmu Titen adalah cara mencermati tanda-tanda alam dan menghubungkannya dengan kejadian tertentu. Prosesnya meliputi mencermati tanda, mengingat relasi indexical antar tanda, dan mencatatnya sebagai piranti pengingat untuk bertindak. Bapak Lono menekankan bahwa apa yang dititeni terkait dengan tujuan mencermati dan siapa yang mencermati.

Ilmu Titen dan Orientasi Pragmatis

Bapak Lono menjelaskan bahwa ilmu Titen memiliki sifat subjektif, kultural, dan kontekstual. Orientasinya selalu pragmatis, yaitu sebagai pedoman untuk menentukan tindakan. Ia memberikan contoh kitab firasat yang mencatat tanda-tanda fisik dan karakter, yang kemudian dikembangkan secara artistik. Bapak Lono mengajak peserta untuk berpikir mengenai bagaimana catatan diwujudkan dan untuk siapa ingatan-ingatan itu diberikan.

Budaya di Masa Kini

Bapak Lono mengajak peserta untuk mempertimbangkan siapa yang mencatat, apa yang dicatat, untuk tujuan apa, dan wujudnya seperti apa. Ia menyoroti pentingnya kebijakan kebudayaan, pengukuran kinerja, dan politik dalam persoalan pencatatan budaya. Pemerintah bukan pemilik budaya, melainkan masyarakatlah pemiliknya. Oleh karena itu, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangat penting dalam pencatatan budaya.

Sinergitas dalam Pencatatan Budaya

Bapak Lono membahas sinergitas antara pelaku budaya, karya budaya, dan apresiasi dalam ekosistem budaya. Ia menekankan pentingnya partisipasi berbagai pihak dalam pencatatan budaya, termasuk pelaku budaya, lembaga pendidikan, media, lembaga pemerintah, komunitas budaya, dan lembaga ekonomi bisnis. Bapak Lono juga menyoroti pentingnya mencatat kegagalan dan dinamika perubahan dalam praktik budaya. Ia menambahkan bahwa dunia internet menyediakan banyak informasi yang dapat di-retrive untuk berbagai tujuan.

Membangun Rumah Budaya Bersama

Bapak Lono mengajak peserta untuk membangun rumah budaya bersama, di mana setiap pihak menyumbangkan pemikiran dan cara menghubungkan antar memori dan data. Ia menekankan pentingnya budaya merekam dan bagaimana membuat kita menjadi rekaman budaya.

Tanggapan Mbak Lis atas Paparan Bapak Lono

Mbak Lis menyoroti bahwa pemerintah bukan pemilik kebudayaan, melainkan masyarakatlah pemiliknya. Ia juga menekankan bahwa data itu sangat subjektif dan tidak pernah netral. Mbak Lis juga tertarik dengan contoh ilmu Titen dan ilmu utak-atik gathuk, serta bagaimana posisinya di hadapan ilmu pengetahuan modern.

Sesi Tanya Jawab

Sesi tanya jawab dimulai dengan pertanyaan dari Bilal Muhammad tentang bagaimana menginisiasi kesadaran warga untuk pendokumentasian dan format apa yang paling cocok. Bapak Mahmud menjawab bahwa tiap komunitas mempunyai cara sendiri dalam mendokumentasikan budaya Alif, baik yang tersimpan di memori maupun yang sudah divisualkan. Bapak Lono menambahkan bahwa masyarakat sudah mendokumentasikan sejak sebelum mengenal kamera dan tulisan, dan bahwa mendokumentasikan juga berarti melakukan tradisi.

Supremasi Teks

Mbak Lis menanyakan tentang supremasi teks dan apakah itu menjadi problem dalam pencatatan kebudayaan. Bapak Lono menjawab bahwa rasionalitas dan bahasa memang penting dalam ilmu pengetahuan modern, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan sekarang semakin mengakui bahwa kognisi juga ada dalam tubuh dan rasa. Bapak Mahmud menambahkan bahwa supremasi teks tidak menjadi problem, karena budaya tulis lahir dari orang-orang yang berbudaya.

Contoh Pengetahuan Lokal

Bapak Mahmud memberikan contoh pengetahuan lokal, seperti dukun bayi, mindring, dan pangur, yang kini mulai tergeser oleh ilmu pengetahuan modern. Mbak Lis menyoroti bahwa dukun bayi berhadapan dengan ilmu kesehatan modern, yang menganggap proses kelahiran perlu campur tangan medis.

Dimensi Kultural dalam Kelahiran

Bapak Lono menjelaskan bahwa cara pandang medis melihat peristiwa kelahiran hanya sebagai peristiwa biologis, sementara dukun bayi melihatnya sebagai peristiwa kultural. Ia mencontohkan bagaimana orang dulu menggunakan kuota motor dan bilahan bambu yang dikasih kunir untuk perawatan bayi.

Aktivasi Big Data dan Perlindungan Data

Haryo Bagus bertanya tentang bagaimana mengaktivasi big data tetapi ada isu perlindungan data. Bapak Lono menjawab bahwa ia bukan ahlinya, tetapi ada cara-cara tertentu yang harus ditempuh agar data bisa diakses. Mbak Lis menambahkan bahwa kita ada di situasi di mana data sangat mudah didapatkan, tetapi teknik retrieval-nya tidak dimiliki oleh semua orang.

Hoax sebagai Dokumen Digital

Agus Bumbu bertanya apakah hoax merupakan dokumen. Bapak Mahmud menjawab bahwa hoax merupakan dokumen digital yang berguna untuk melihat sejarah mentalitas masyarakat. Bapak Lono menambahkan bahwa hoax bisa ditempatkan dalam posisi antara terus dan pernah Andrew, dan kita bisa belajar dari Andrew juga.

Integrasi Pendokumentasian

Mbak Ning bertanya apakah sudah ada contoh konkrit integrasi pendokumentasian antar elemen. Bapak Lono menjawab bahwa di undang-undang pemajuan kebudayaan, mendokumentasikan merupakan bagian dari mepeling bunga. Ia mencontohkan PPKD yang ada instrumennya berupa pencatatan budaya daerah. Namun, selama ini masih terlalu terkesan sangat dominan pemerintah.

Otor Sip dan Kebudayaan

Jannatul bertanya tentang bagaimana menyikapi isu nonim pada kebudayaan tertentu. Bapak Mahmud menjawab bahwa untuk dokumen budaya seperti itu, tidak perlu diketik rahmayati iklimnya diklaim oleh negara. Bapak Lono menambahkan bahwa budaya itu tidak pernah individual, melainkan suatu kolektivitas. Ia menjelaskan bahwa konsep properti intelektual agak kacau dalam konteks kebudayaan, karena kebudayaan selalu share dan terbagi.

Closing Statement Bapak Mahmud

Bapak Mahmud menekankan bahwa mendokumentasikan dari perspektif kearsipan tidak hanya merekam, tetapi juga mengelola dan mengabadikan originalitasnya. Ia mencontohkan bahwa tubuh sebagai media rekam usianya terbatas, sehingga perlu divisualkan dalam bentuk audio video yang harus diabadikan oleh institusi kebudayaan dan institusi kearsipan.

Closing Statement Bapak Lono

Bapak Lono mengajak peserta untuk sadar dan ikut berpartisipasi dalam mengarahkan bagaimana kita ini mau dicatat. Ia menekankan bahwa rekaman kebudayaan itu juga urusan kita, dan kita bisa menawarkan bagaimana yang kami inginkan dicatat seperti itu.

Share

Summarize Anything ! Download Summ App

Download on the Apple Store
Get it on Google Play
© 2024 Summ