Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang isu-isu negatif yang sering muncul di Indonesia dan mengapa isu-isu tersebut tidak selalu menghasilkan perubahan signifikan. Guru Gembul berpendapat bahwa mental inferior masyarakat Indonesia, yang selalu berharap pada pemimpin atau pihak lain untuk menyelesaikan masalah, menjadi salah satu penyebabnya. Ia mendorong masyarakat untuk lebih percaya pada potensi diri sendiri dan menjadi solusi bagi masalah bangsa.
- Isu-isu negatif di media sosial tidak selalu berujung pada perubahan nyata.
- Mental inferior masyarakat Indonesia membuat mereka selalu bergantung pada pemimpin.
- Masyarakat harus lebih percaya pada diri sendiri dan menjadi solusi.
Isu-isu Negatif di Indonesia
Indonesia terus-menerus dibombardir isu negatif, beberapa viral secara organik dan ada juga yang sengaja diviralkan. Isu seperti "Indonesia Gelap" masih dibicarakan jutaan orang di media sosial meski sudah lewat masanya. Isu lain seperti demo DPR, kuota haji, dan judi online juga ramai diperbincangkan. Beberapa isu, seperti yang terkait Kementerian Keuangan, sengaja dipelihara viralitasnya oleh pihak tertentu.
Mengapa Isu Negatif Tidak Menghasilkan Perubahan?
Meski banyak isu negatif, Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan seperti yang terjadi di negara lain seperti Sri Lanka atau Nepal. Konflik di Indonesia relatif gagal mencapai tujuannya. Contohnya, kasus pagar laut dan tambang di Papua sempat viral dan memicu demonstrasi, tetapi setelah itu kembali berjalan seperti biasa. Kasus Ferdi Sambo juga meredup setelah vonis dijatuhkan. Korupsi timah yang katanya merugikan negara ratusan triliun juga seolah jalan di tempat setelah vonis.
Mental Inferior Masyarakat Indonesia
Salah satu alasan mengapa isu negatif tidak menghasilkan perubahan adalah mental inferior masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung tidak mau tampil ke depan atau memimpin kecuali dalam kelompok besar. Mereka selalu berharap ada figur sentral yang mengomandoi perubahan, seperti pada Reformasi 1998 dengan Amin Rais atau krisis 1966 dengan Soeharto. Masyarakat Indonesia selalu ingin ada yang "menyambung lidah rakyat" dan mengomandoi mereka.
Contoh Kasus: Pasar Caringin
Contoh kasus adalah Pasar Caringin di Bandung yang kotor dan tidak terawat. Masyarakat berharap pemerintah membersihkan dan mengelola pasar tersebut. Ketika Ridwan Kamil (KDM) datang dan membersihkan pasar, sehari kemudian pasar itu kembali kotor. Ini karena masyarakat berharap ada orang lain yang membersihkan untuk mereka, bukan inisiatif dari diri sendiri.
Berharap pada Pihak Lain
Masyarakat Indonesia selalu berharap ada pihak lain yang mengomandoi mereka untuk bergerak dan memperbaiki keadaan. Pemimpin yang viral adalah mereka yang berhasil membangun citra diri. Masyarakat mengelu-elukan pemimpin seperti Jokowi sebagai "satrio piningit" atau penyelamat bangsa, tanpa berpikir untuk menjadi pahlawan bagi diri sendiri.
Potensi Diri Sendiri
Masyarakat Indonesia tidak pernah bercermin dan melihat potensi diri sendiri. Mereka selalu melihat orang lain sebagai solusi. Setiap ada pemilu, mereka berharap pada orang lain tanpa melihat apakah diri mereka bisa diandalkan. Mental seperti ini buruk dan membuat masyarakat terus-menerus kecewa.
Jangan Berharap pada Orang Lain
Ketika kita berharap pada orang lain, bersiaplah untuk dikecewakan. Jangan berharap teman kaya akan membuat kita kaya atau teman jenius akan membuat kita jenius. Kita harus memanfaatkan potensi diri sendiri dan layak untuk menjadi sukses. Mulailah dari hal sederhana dan jangan pernah berharap pada pihak lain. Kita punya kontrol penuh pada diri sendiri dan bisa menjadi solusi bagi kerusakan yang ada. Jadilah orang yang berkualitas dan tunjukkan bahwa kita adalah harapan orang lain.

