Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang Ibnu Tufail dan karyanya, "Hai bin Yaqdzhan," serta pemikiran-pemikiran filosofisnya. Video ini juga membahas konteks sejarah Ibnu Tufail, termasuk dinasti Al-Muwahhidun dan Al-Murabitun, serta pengaruhnya terhadap filsuf-filsuf modern.
- Ibnu Tufail dan karyanya "Hai bin Yaqdzhan"
- Konteks sejarah dan pengaruh Ibnu Tufail
- Pemikiran filosofis Ibnu Tufail tentang akal, wahyu, dan jiwa
Pengantar: Ibnu Tufail dan Konteks Sejarahnya
Ibnu Tufail hidup di era runtuhnya dinasti Al-Murabitun dan berdirinya dinasti Al-Muwahhidun, yang menyelamatkan Islam setelah Spanyol jatuh. Pada masa itu, filsafat kurang populer. Dinasti Al-Muwahhidun didirikan oleh Muhammad bin Abdullah bin Tumart, yang mendeklarasikan diri sebagai Imam Mahdi dan berhasil mendirikan dinasti. Dinasti Al-Murabitun, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Yasin, lebih berorientasi pada fikih dan sering menimbulkan kontroversi. Ibnu Tufail lahir di Granada, Spanyol, dan wafat di Maroko. Awalnya seorang dokter, ia kemudian menjadi dokter istana dan qadi.
Karya-Karya Ibnu Tufail
Karya-karya Ibnu Tufail meliputi filsafat, astronomi, novel, dan sastra. Karya yang paling menonjol adalah novel "Risalah Hai bin Yaqdzhan," yang membahas rahasia-rahasia hikmah dan filsafat ketimuran. Karya lainnya adalah "Murajaat wal Mabahis," transkrip diskusi dengan Ibnu Rus, dan "Arjusah fittib," kitab kedokteran yang berisi teori-teori kedokteran. Pikiran-pikiran Ibnu Tufail sangat berpengaruh terhadap beberapa filsuf modern di Barat.
Bedah Novel "Hai bin Yaqdzhan"
Novel "Hai bin Yaqdzhan" telah diterjemahkan ke lebih dari 21 bahasa dan diadaptasi oleh beberapa novelis Barat, seperti William Defoe dengan "Robinson Crusoe." Cerita ini mengisahkan tentang Hai, yang dibesarkan oleh seekor rusa di hutan terpencil. Ada dua versi asal-usul Hai: pertama, ia terbuat dari tanah merah yang mendapat zat kehidupan; kedua, ia adalah anak raja yang dibuang. Dari rusa, Hai belajar bertahan hidup dan mengembangkan akalnya. Ketika rusa yang mengasuhnya mati, Hai mulai berpikir tentang roh dan perbedaan antara yang hidup dan mati.
Perkembangan Akal dan Pemikiran Hai
Hai mulai berpikir tentang roh setelah kematian rusa yang mengasuhnya. Ia membedah binatang lain untuk memahami perbedaan antara yang hidup dan mati, menyimpulkan bahwa roh bersifat panas. Ia juga mulai mengamati sekelilingnya, mengklasifikasikan tumbuhan dan binatang, serta mengamati langit dan bintang-bintang. Dari pengamatannya, ia menyimpulkan adanya sesuatu yang menggerakkan semua itu, yaitu Tuhan. Ia juga menyimpulkan bahwa Tuhan Maha Penyayang dan Maha Sempurna.
Pertemuan dengan Absal dan Dakwah
Hai bertemu dengan seorang sufi bernama Absal, yang mengajarkannya tentang Quran dan Nabi. Hai heran karena penjelasannya sama dengan yang ia cari sendiri. Absal mengajak Hai untuk berdakwah, tetapi ceramah Hai tidak disukai karena terlalu filosofis. Hai menyimpulkan bahwa agama menggunakan simbol dan metafora agar mudah dipahami masyarakat umum, sementara filsafat hanya untuk orang-orang tertentu. Akhirnya, Hai memutuskan untuk kembali ke hutan.
Pikiran-Pikiran Filosofis Ibnu Tufail dalam "Hai bin Yaqdzhan"
Ibnu Tufail ingin menyampaikan urutan pengetahuan yang bisa ditempuh akal, dari yang sederhana hingga yang kompleks. Manusia bisa menemukan Tuhan tanpa petunjuk apa pun, hanya dengan membaca realitas di sekelilingnya. Akal sangat penting, bahkan Nas sekalipun perlu akal yang bagus agar tidak membahayakan. Akal juga bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Syariat diturunkan untuk memudahkan mereka yang kesulitan mendayagunakan akalnya.
Epistemologi: Akal, Panca Indra, dan Intuisi
Ibnu Tufail mengkritik filsuf-filsuf sebelumnya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ghazali, dan Ibnu Bajjah. Ia menekankan pentingnya akal, panca indra, dan intuisi sebagai alat untuk menyingkap spiritualitas dan hakikat ketuhanan. Panca indra melihat alam fisik, akal berpikir logis, dan intuisi memberikan pengetahuan langsung. Untuk mempertajam intuisi, perbanyak pengalaman atau bersihkan diri.
Tahapan Akal Menuju Tuhan
Tahapan akal untuk menemukan Tuhan meliputi: melihat sekeliling dan bertanya mengapa, meniru benda-benda langit yang patuh dan menerangi, bertemu dengan wajibul wujud (yang pasti ada), merasakan keunggulan sebagai manusia, menyaksikan bahwa kita selalu diawasi Tuhan, dan mengakui bahwa kita adalah mumkinul wujud (yang bisa hilang). Kebahagiaan yang paling indah adalah ketika kita bertemu dengan yang wajibul wujud.
Fungsi Wahyu dan Tiga Jenis Manusia
Wahyu diperlukan karena tidak semua orang sanggup meniti jalan akal. Wahyu memberikan petunjuk instan dan dijelaskan oleh nabi. Ada tiga jenis manusia dalam hal penggunaan akal: Hai bin Yaqdzhan (mencari kebenaran sendiri dengan akal), Absal (percaya wahyu dulu baru menggunakan akal), dan Salman (ikut apa adanya kata wahyu).
Jiwa, Etika, dan Pembuktian Allah
Ibnu Tufail membagi jiwa menjadi tiga: jiwa tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa manusia (nafs natiqoh). Kondisi jiwa ada tiga: kenal Allah dan mendedikasikan hidup untuk Allah (bahagia), kenal Allah tapi tidak mampu mendedikasikan hidup untuk Allah (sengsara), dan tidak kenal Allah (seperti hewan). Etika Ibnu Tufail menekankan pentingnya mengikuti variabel-variabel jiwa: fisik, hasrat, dan esensi non-fisik. Untuk membuktikan Allah, ada tiga argumen: argumen gerak, argumen bentuk, dan argumen Inayah (pertolongan dari Allah).