Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang persepsi publik terhadap pesantren, terutama setelah beberapa kejadian negatif dan kritik yang muncul di media sosial. Guru Gembul menyampaikan data penurunan jumlah santri dan alasan-alasan di baliknya, sementara Gus Ulil memberikan perspektif sebagai orang dalam yang membela pesantren namun tetap mengakui perlunya perbaikan. Diskusi ini juga menyinggung soal strategi komunikasi pesantren dalam menghadapi kritik dan pentingnya membedakan antara kritik yang membangun dengan yang bersifat menghina.
- Penurunan jumlah santri menjadi perhatian utama.
- Kritik terhadap pesantren perlu direspon dengan bijak.
- Pentingnya membedakan kritik membangun dan menghina.
- Pesantren perlu mengkomunikasikan diri dengan lebih baik ke publik.
Pembukaan
Pembukaan dimulai dengan perkenalan dua narasumber, Guru Gembul dan Gus Ulil, yang akan membahas isu-isu terkini seputar pesantren. Isu yang dibahas meliputi kasus Alkhazini yang menewaskan santri, rencana pemerintah memberikan APBN kepada pesantren, dan video Trans7 yang dianggap mendiskreditkan pesantren. Guru Gembul sebelumnya telah membuat konten tentang kritik terhadap pesantren di kanal Gus Ulil, yang mendapat perhatian luas.
Fenomena Sosial dan Penurunan Jumlah Santri
Guru Gembul menjelaskan bahwa ada fenomena sosial yang mengindikasikan kabar buruk bagi pesantren, terutama yang terafiliasi dengan NU. Data dari Kementerian Agama menunjukkan penurunan jumlah santri dari 5 juta pada tahun 2020 menjadi 1,3 juta pada tahun 2025. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kasus kekerasan dan penyimpangan seksual di pesantren yang terjadi setiap bulan, serta munculnya alternatif pendidikan Islam seperti SDIT, SMPIT, dan boarding school modern.
Sejarah dan Reputasi Pesantren
Guru Gembul menekankan pentingnya pesantren dalam sejarah Indonesia, menyebutnya sebagai tonggak awal peradaban modern dan lembaga yang melahirkan banyak pejuang kemerdekaan. Namun, ia menyayangkan bahwa pesantren saat ini sering dibully dan dijelek-jelekkan di media. Ia mengajak pesantren untuk berbenah diri dan memperbaiki reputasinya, alih-alih melakukan serangan balik terhadap kritik yang ada.
Tanggapan Gus Ulil: Posisi Insider dan Pembelaan
Gus Ulil menjelaskan posisinya sebagai insider yang membela pesantren. Ia mengakui bahwa pandangan dari luar seringkali menyederhanakan kompleksitas di dalam pesantren. Ia marah terhadap framing negatif yang dilakukan oleh Trans7, yang menurutnya sama dengan orientalisme Barat yang melihat dunia Islam secara reduksionistik. Gus Ulil menjelaskan bahwa pesantren adalah subkultur dengan cara hidup, pandangan dunia, dan nilai-nilai yang berbeda.
Kompleksitas Dunia Pesantren
Gus Ulil menjelaskan bahwa dunia pesantren seringkali tersembunyi dari pandangan publik karena lokasinya yang berada di pedesaan. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan asumsi yang keliru dari orang luar. Ia mencontohkan praktik cium tangan yang mungkin tidak masuk akal bagi orang luar, namun memiliki makna tersendiri bagi komunitas pesantren. Meski demikian, ia menegaskan bahwa tidak semua hal di pesantren harus dibenarkan.
Kritik Internal dan Perubahan Budaya
Gus Ulil menekankan bahwa kritik internal terhadap pesantren sudah banyak dilakukan oleh kalangan pesantren sendiri. Ia mencontohkan Rizal Mumazik, seorang Gus yang sering mengkritik tradisi feodalistis di kalangan pesantren. Ia juga menceritakan pengalamannya sendiri menulis kritik terhadap feodalisme pesantren saat masih menjadi santri. Gus Ulil juga menyebutkan adanya satuan tugas di PBNU yang menangani kasus kekerasan seksual di pesantren.
Standarisasi Infrastruktur dan Nilai Kebarokahan
Gus Ulil menjelaskan bahwa PBNU sedang berupaya untuk melakukan standarisasi infrastruktur di pondok-pondok NU, termasuk mendorong pesantren untuk memiliki tempat tinggal santri di luar rumah kiai. Namun, ia mengakui bahwa hal ini tidak mudah karena banyak pesantren kecil yang santrinya masih tinggal bersama kiai, yang dianggap sebagai kehormatan dan tabarrukan.
Tanggapan Guru Gembul: Kritik terhadap Pendekatan Primordial
Guru Gembul mengkritik pendekatan primordial yang digunakan oleh Gus Ulil, yang menurutnya terlalu menekankan perbedaan antara orang dalam dan orang luar. Ia mempertanyakan mengapa orang pesantren yang bukan orang Arab boleh belajar bahasa Arab dan menafsirkannya, atau mengapa orang pesantren berbicara tentang hal-hal gaib padahal mereka adalah makhluk nyata. Ia juga mencontohkan bahwa peneliti Indonesia yang paling otoritatif justru seringkali adalah orang luar Indonesia.
NU sebagai Subkultur Islam
Guru Gembul menekankan bahwa NU bukan hanya subkultur dari Indonesia, tetapi juga subkultur dari Islam, yang memiliki banyak klaim kebenaran. Ia mencontohkan kasus jalan jongkok di pesantren, yang menurutnya adalah tradisi lokal Nusantara yang dilabeli Islam. Ia merasa terhina jika agama Islam diklaim dengan cara seperti itu.
Pentingnya Keterbukaan dan Evaluasi Diri
Guru Gembul mempertanyakan mengapa para santri dan kiai bungkam ketika terjadi kasus pencabulan atau kekerasan seksual di pesantren. Ia menekankan pentingnya berbicara di ruang publik dan mengakui kesalahan, alih-alih hanya berbicara secara internal. Ia khawatir bahwa pesantren akan teralienasi jika terus-menerus menolak kritik dari luar.
Kemarahan Publik dan Strategi Komunikasi
Gus Ulil menjelaskan bahwa kemarahan publik terhadap NU jarang terjadi, namun kali ini ada sesuatu yang melewati batas, yaitu acara Trans7 yang dianggap tidak memiliki niat baik. Ia membenarkan aksi demonstrasi sebagai hak masyarakat yang dilukai perasaannya, selama masih dalam koridor hukum. Namun, ia mengakui bahwa cara menyampaikan respon ke publik membutuhkan strategi yang tepat.
Pengendalian Media Sosial dan Panoptikon
Gus Ulil menjelaskan bahwa NU tidak memiliki cyber army untuk mengendalikan media sosial, sehingga tidak bisa mengontrol percakapan di media sosial. Namun, Guru Gembul membantah bahwa media sosial tidak bisa dikendalikan, dan mencontohkan bagaimana buzzer politik dan influencer dapat mengubah opini publik dengan cepat. Gus Ulil juga menyadari bahwa dunia saat ini seperti panoptikon, di mana semua gerak-gerik dapat diawasi melalui media sosial.
Reaktualisasi Tradisi dan Momen untuk Mengabarkan Diri
Gus Ulil menjelaskan bahwa usaha-usaha untuk melakukan reaktualisasi tradisi terus berlangsung di dalam NU. Ia mengakui bahwa ada perkembangan baru dalam praktik penghormatan kiai yang kurang ia setujui, seperti ngesot. Ia menekankan pentingnya membedakan antara tradisi yang jelas-jelas kriminal dengan tradisi yang masih debatable. Gus Ulil juga menyebutkan bahwa momen ini adalah kesempatan bagus bagi kalangan pesantren untuk mengabarkan dirinya kepada publik dan mengedukasi pihak luar.
Ilustrasi dan Ajakan untuk Mengendalikan Medsos
Guru Gembul memberikan ilustrasi tentang pentingnya mengubah manifestasi tradisi agar tidak menjatuhkan harkat dan martabat NU. Ia mengajak warga NU untuk mengendalikan media sosial dan tidak pasrah bahwa itu adalah wilayah yang tidak bisa dikendalikan. Ia juga mencontohkan bagaimana media sosial dapat mengubah kecintaan terhadap Rohingya menjadi kebencian dalam waktu singkat.
Pentingnya Hati-hati dan Kritik yang Membangun
Gus Ulil mengingatkan bahwa apa yang dilakukan di dalam rumah tidak seluruhnya private karena adanya panoptikon media sosial. Ia juga menyadari bahwa ada kelompok yang tidak suka pada NU dan berusaha untuk memperbesar sentimen negatif. Namun, ia menekankan pentingnya tidak menggeneralisir setiap kritikan sebagai bagian dari kelompok yang tidak suka, karena ada juga kritik yang bertujuan untuk membangun.
Penutup
Diskusi diakhiri dengan kesimpulan bahwa kritik yang membangun sangat penting untuk kemajuan pesantren dan NU.

