"Perang Padri 1821-1838 : Saat Ulama dan Bangsawan Bertempur di Tanah Minang!" ⚔️

"Perang Padri 1821-1838 : Saat Ulama dan Bangsawan Bertempur di Tanah Minang!" ⚔️

Ringkasan Singkat

Video ini membahas Perang Padri yang terjadi di Sumatera Barat dari tahun 1821 hingga 1838. Perang ini awalnya merupakan konflik antara Kaum Padri yang ingin memurnikan ajaran Islam dan Kaum Adat yang mempertahankan tradisi lokal. Konflik ini kemudian berubah menjadi perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Beberapa poin penting yang dibahas dalam video ini meliputi:

  • Latar belakang dan penyebab Perang Padri, termasuk perbedaan pandangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat.
  • Peran tiga orang haji dari Mekah dalam memulai gerakan pembaruan Islam di Minangkabau.
  • Keterlibatan Belanda dalam konflik ini, yang memanfaatkan situasi untuk memperluas kekuasaannya.
  • Perlawanan gigih dari Kaum Padri, yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
  • Strategi Benteng Stelsel yang diterapkan oleh Belanda untuk menaklukkan Bonjol.
  • Akhir Perang Padri dengan jatuhnya benteng terakhir Kaum Padri dan pengasingan Tuanku Imam Bonjol.

Pendahuluan Perang Padri

Video ini akan membahas Perang Padri yang terjadi di Sumatera Barat pada tahun 1821-1838. Perang ini melibatkan Kaum Padri, yang terdiri dari ulama dan umat Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam, melawan Kaum Adat, yang meliputi bangsawan dan masyarakat adat yang mempertahankan adat istiadat leluhur. Kaum Padri terinspirasi oleh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah dan ingin membersihkan praktik adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Penyebab Perang Padri

Perang Padri bermula ketika tiga orang haji dari Mekah kembali ke Indonesia pada tahun 1803 dan menyampaikan keinginan untuk memperbaiki penerapan syariat Islam di Minangkabau. Pada saat itu, masyarakat Minangkabau masih melakukan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti berjudi, menyabung ayam, dan mengonsumsi minuman keras. Kaum Padri juga menentang hukum adat matriarkat mengenai warisan dan urusan rumah tangga. Hal ini didukung oleh Tuanku Nan Renceh dan ulama lainnya yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Namun, masyarakat adat menentang keinginan tersebut dan menganggap gerakan Kaum Padri sebagai ancaman terhadap budaya Minangkabau. Haji Miskin bahkan membakar tempat judi ayam, yang memicu kemarahan kaum adat.

Konflik Bersenjata dan Keterlibatan Belanda

Puncak perang saudara terjadi pada tahun 1815 ketika Kaum Padri menyerang kerajaan Pagaruyung, menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri. Pada tahun 1821, kemenakan Sultan Arifin Muningsyah, Sultan Alam Bagagarsyah, meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda. Belanda memanfaatkan kesempatan ini untuk memperluas kekuasaannya dan membangun benteng pertahanan bernama Ford van der Capellen di Batu Sangkar. Kaum Padri tidak menyerah dan menyusun kekuatan di Lintau. Pada tahun 1822, terjadi pertempuran sengit di Baso, yang menyebabkan Kapten Govinet dari pihak Belanda meninggal.

Perjanjian Masang dan Persatuan Kaum Padri dan Adat

Pada tahun 1825, Belanda terlibat dalam Perang Diponegoro di Jawa dan perang lain di Eropa, yang menyebabkan mereka kewalahan dan mengajak Kaum Padri untuk melakukan gencatan senjata. Perjanjian Masang terjadi pada tahun 1825, tetapi tidak menyelesaikan konflik secara mendasar. Kaum Padri tetap memandang Belanda sebagai penjajah. Kemudian, terjadi kesepakatan antara Kaum Padri dan Kaum Adat yang disebut Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, yang berbunyi "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah," yang berarti adat Minangkabau berdasarkan agama Islam dan agama Islam berdasarkan Al-Quran.

Perlawanan Bersama dan Strategi Belanda

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda kembali fokus pada Perang Padri dan melanggar perjanjian dengan menyerang Nagari Pandai Sikek. Belanda membangun benteng di Bukit Tinggi yang dikenal dengan nama Ford de Kock. Pada tahun 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat bersatu melakukan penyerangan pada beberapa kubu pertahanan Belanda. Belanda mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat Panjang, yang berisi bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan penduduk. Namun, faktanya Belanda berusaha untuk menyerang benteng Bonjol.

Pengepungan dan Penaklukan Bonjol

Pada tahun 1835, Belanda bertekad untuk menyerbu dan menaklukkan Bonjol, meskipun akses jalan belum memadai. Belanda melakukan blokade terhadap Bonjol, tetapi tidak efektif. Pada tahun 1836, Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol, tetapi berhasil dipukul mundur oleh Kaum Padri. Pada tahun 1837, Belanda mengirimkan Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol dengan menerapkan strategi Benteng Stelsel. Pengepungan Bonjol dilakukan selama 6 bulan, dan akhirnya benteng Bonjol dapat ditaklukkan pada tanggal 16 Agustus 1837.

Akhir Perang Padri

Setelah benteng Bonjol ditaklukkan, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi, tetapi hanya sedikit yang siap bertempur kembali. Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol menyerah diri untuk menjamin keselamatan Kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya ke Lotta Minahasa, di mana beliau meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Meskipun benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, peperangan masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu Rokan Hulu jatuh pada tanggal 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai kemudian mundur ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan peperangan ini dianggap selesai.

Share

Summarize Anything ! Download Summ App

Download on the Apple Store
Get it on Google Play
© 2024 Summ