Ringkasan Singkat
Video ini membahas sejarah Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dari masa kemerdekaan hingga pembekukannya. DIS dibentuk pada tahun 1945, namun menghadapi berbagai tantangan politik dan sosial yang menyebabkan pembekuan statusnya pada tahun 1946. Video ini juga membahas upaya-upaya untuk menghidupkan kembali DIS di masa depan.
- Pembentukan dan pembekuan Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
- Konflik politik dan sosial yang menyebabkan pembekuan DIS.
- Peran Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dalam perjuangan kemerdekaan.
- Upaya-upaya untuk menghidupkan kembali DIS di masa depan.
Pembuka
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Sri Susuhunan Pakubuwono XII dan Pangeran Adipati Mangkunegoro VIII menyatakan bahwa mereka dan rakyatnya bergabung dengan Republik Indonesia. Pernyataan ini disambut baik oleh pemerintah pusat, dan Presiden Soekarno mengeluarkan piagam penetapan yang menetapkan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran sebagai daerah istimewa, yaitu Daerah Istimewa Surakarta (DIS). DIS menjadi daerah istimewa pertama yang dibentuk setelah Indonesia merdeka, namun juga menjadi daerah istimewa pertama yang kedudukannya dibekukan.
Takhta di Masa Perang
Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di Jawa dan menduduki Surakarta dan Yogyakarta pada tanggal 5 dan 7 Maret. Pemerintah pendudukan Jepang kemudian membentuk pemerintahan pendudukan Jepang dan mengadakan reorganisasi struktur administrasi dan birokrasi. Surakarta dan Yogyakarta diberi status sebagai koci (daerah istimewa) dengan kepala kerajaan dan kadipaten yang memerintah disebut sebagai KO. Keberadaan Jepang justru menghancurkan sendi-sendi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia. Kewajiban menyerahkan hasil pertanian dan adanya kerja paksa (Romusa) menimbulkan perasaan anti-Jepang. Pada tanggal 19 Juli 1944, Pangeran Adipati Mangkunegoro VII meninggal dunia dan digantikan oleh Kanjeng Pangeran Haryo Hamijoyo Saroso sebagai Adipati Mangkunegoro VIII. Pada tanggal 1 Juni 1945, Sunan Pakubuwono XI meninggal dunia dan digantikan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Purboyo sebagai Sunan Pakubuwono XII.
Kumandang Merdeka
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Kabar ini menyebar hingga ke Surakarta, dan pemimpin beserta rakyat Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran menyambut baik proklamasi tersebut. Sunan Pakubuwono XII dan Pangeran Adipati Mangkunegoro VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1945, dibentuk panitia persiapan kemerdekaan di Surakarta yang diketuai oleh Kanjeng Uriingrat. Pemerintah pusat membalas itikad baik rakyat Surakarta dengan mengeluarkan piagam penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa Surakarta merupakan daerah istimewa. Pada tanggal 1 September 1945, Sunan Pakubuwono XII dan Pangeran Adipati Mangkunegoro VIII mengeluarkan maklumat resmi yang menyatakan bahwa Surakarta dan Mangkunegaran adalah daerah istimewa dari negara Republik Indonesia.
Gejolak Anti Swapraja
Pengakuan kedudukan Sri Sunan dan Mangkunegoro oleh Presiden Soekarno tidak serta-merta memberikan kepastian kedaulatan dan kekuatan politis bagi masing-masing monarki. Sebagian politisi radikal dan pejuang kemerdekaan di Surakarta beranggapan bahwa sistem pemerintahan monarki yang terwadah dalam bentuk daerah istimewa tidak sesuai dengan semangat revolusi. Kondisi sosial politik di Surakarta diramaikan oleh dua kelompok berbeda, yaitu kelompok pendukung daerah istimewa (pendukung suap raja) dan kelompok anti suap raja. Pada tanggal 11 September diadakan rapat yang menyepakati pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) untuk menguasai seluruh wilayah daerah istimewa Surakarta. Dengan dibentuknya KNIDS, Daerah Istimewa Surakarta diperintah oleh tiga institusi berbeda, yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, dan KNIDS. KNIDS sempat mengusulkan penggabungan antara Suap Raja Kasunanan dan Suap Raja Mangkunegaran menjadi satu pemerintahan tunggal, namun rencana itu gagal. Pemerintah Indonesia mengangkat seorang komisaris tinggi sebagai wakil pemerintah pusat untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta. Pada tanggal 19 Oktober 1945, pemerintah menunjuk Raden Panji Suroso sebagai komisaris tinggi. Atas usul KNIDS, dibentuklah Badan Pemerintahan Direktorium yang bertujuan agar Daerah Istimewa Surakarta memiliki institusi pemerintahan tunggal. Pemerintah Mangkunegaran menganggap bahwa direktorium itu tak lebih hanya merupakan suatu pemerintahan bayangan. Kelambanan pemerintah Kasunanan dan Mangkunegaran dalam melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta membuat KNIDS terkadang harus bertindak sendiri. Hal itu dimanfaatkan oleh golongan anti suap raja dengan semakin gencar mengampanyekan propaganda anti kasunanan dan anti mangkunegaran.
DIS Dikudeta
Kevakuman kekuasaan di Surakarta pada awal revolusi mengundang terjadinya konflik kepentingan dari masing-masing kelompok yang ada. Sebagian pangeran dan bangsawan berusaha menghilangkan kekuasaan Sri Sunan. Gerakan anti daerah istimewa semakin merajalela bahkan sampai ke desa-desa. Korban pertama adalah Patih Sosroiningrat V yang diculik pada tanggal 17 Oktober 1945. Pada bulan Januari 1946, Barisan Banteng menculik dan menyandera Sunan Pakubuwono XII dan Ibu Suri, Ratu Pakubuwono. Tujuan Barisan Banteng melakukan penculikan itu adalah untuk merebut kekuasaan dari keraton serta hapusnya pemerintahan daerah istimewa. Pada tanggal 15 Maret 1946, Patih Yudonagoro diculik oleh kelompok oposisi. Pada tanggal 15 April 1946, Sunan Pakubuwono XII mengangkat Kanjeng Raden Mas Haryo Wuryaningrat sebagai pejabat sementara Patih Kasunanan. Pemberontak anti suap raja menculik Bupati Boyolali dan wakil bupati Klaten. Kabupaten Klaten melepaskan diri dari Kasunanan Surakarta pada tanggal 26 April 1946. Kabupaten Sragen melepaskan diri pada tanggal 27 April 1946, yang selanjutnya disusul oleh kabupaten kota Surakarta (Sukoharjo) pada tanggal 18 Mei dan kemudian Kabupaten Boyolali di tanggal 3 Juni. Ibu kota Republik Indonesia harus pindah ke Yogyakarta karena Jakarta telah diduduki tentara sekutu. Surakarta menjadi pusat pergerakan kaum oposisi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan Soekarno-Hatta. Wakil Patih Uriingrat mengatakan bahwa Barisan Banteng berupaya merebut kekuasaan dari Sunan Pakubuwono XII. Sri Sunan dan Wuryaningrat bersikeras untuk tidak menyerahkan kekuasaan kepada oposisi karena kedudukan dan kekuasaan Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta tercantum jelas dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.
Menuntut Keadilan
Sunan Pakubuwono XII merasakan adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pejabat pemegang kekuasaan di tubuh pemerintahan Surakarta. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran mulai menyampaikan protes dan meminta kejelasan kepada pemerintah pusat. Dalam surat resmi kepada Mister Asaat, Sri Sunan menulis bahwa bunyi beberapa pasal mengenai pemerintahan daerah istimewa dalam Undang-Undang Nomor 22 dapat disalahartikan sebagai dasar untuk meniadakan Daerah Istimewa Surakarta yang mana itu jelas melanggar UUD 1945 Pasal 18. Presiden Soekarno mengirim seorang kurir ke keraton Surakarta yang bertugas menyampaikan pesan pengangkatan Sunan Pakubuwono XII tanpa surat keputusan resmi sebagai Menteri Negara sementara dalam rangka memperkuat posisi delegasi Indonesia dalam konferensi meja bundar di Den Haag, Belanda. Pasca konferensi, jabatan Menteri Negara yang disandang oleh Sunan Pakubuwono XII pun dicopot begitu saja tanpa perintah lisan ataupun tertulis dari pemerintah pusat. Masalah status daerah istimewa tak kunjung tuntas. Di Kota Surakarta, berbagai organisasi melakukan demonstrasi dengan menyuarakan tuntutan kepada pemerintah pusat untuk segera merealisasikan pasal 64 dan 65 Undang-Undang Dasar Sementara maupun Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin keberadaan Daerah Istimewa Surakarta. Dalam pertemuan dengan utusan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 4 sampai 5 Januari 1950 di Surakarta, Sunan Pakubuwono XII juga mengajukan konsep rinci mengenai struktur maupun pelaksanaan pemerintahan SUAPRA Surakarta. Pada tanggal 8 Februari 1950, pemerintah Kadipaten Mangkunegaran telah menyerahkan sepenuhnya pengaturan dan kedudukan Adipati Mangkunegoro dalam struktur pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta.
DIS di Masa Depan
Seiring berjalannya waktu, keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran yang telah bergeser kedudukannya dari sebuah pusat pemerintahan menjadi institusi tertinggi pemangku adat dan kebudayaan Jawa, selanjutnya semakin membuka diri baik kepada masyarakat maupun terhadap perkembangan zaman. Dengan diberlakukannya otonomi daerah pasca reformasi dan semakin majunya teknologi informasi dan meningkatnya pemahaman serta kesadaran masyarakat, bukan tidak mungkin keberadaan Daerah Istimewa Surakarta dapat diwujudkan kembali. Wacana pembentukan kembali daerah Istimewa Surakarta atau Provinsi Surakarta selama bertahun-tahun sejak reformasi hingga saat ini telah beberapa kali disuarakan oleh berbagai elemen mulai dari tingkat masyarakat hingga kepala daerah. Berbagai formasi bentuk pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta juga pernah dibahas. Dibutuhkan keseriusan dan kekompakan antara pemerintah pusat, keraton Surakarta, Puro Mangkunegaran, dan masyarakat Surakarta Raya dari semua lapisan tanpa terkecuali jika ingin status daerah istimewa Surakarta kembali diwujudkan.
Penutup dan Referensi
Video diakhiri dengan harapan agar Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran Surakarta bersama masing-masing pemimpinnya beserta seluruh perangkat adat dan masyarakatnya senantiasa diberkahi dengan keselamatan dan kedamaian, kemakmuran dan kebahagiaan.

