Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang pencarian identitas Indonesia sebagai negara pasca-kolonial, dengan menyoroti tiga sindrom pasca-kolonial: kehilangan identitas, ketergantungan epistemologis, dan keterikatan pada sistem kolonial. Diskusi mencakup kepemimpinan ideal di masa lalu, legitimasi dan suara rakyat, peran perempuan, etika lingkungan, serta pentingnya epistemologi khas Indonesia.
- Identitas Indonesia di masa lalu sangat kuat, terutama pada masa klasik.
- Kepemimpinan ideal tercermin dalam tokoh seperti Diponegoro, yang bersahaja dan dekat dengan rakyat.
- Pentingnya menggali kembali epistemologi khas Nusantara untuk memberikan solusi terhadap masalah eksistensial global.
Intro
Pembukaan video yang memperkenalkan topik diskusi mengenai identitas Indonesia pasca-kolonial dan bagaimana sejarah dapat memberikan pelajaran untuk masa depan.
3 Sindrom Pascakolonial
Indonesia sedang mencari bentuk sebagai negara pasca-kolonial, yang ditandai dengan tiga sindrom utama menurut Frantz Fanon: kehilangan identitas (the loss of identity), ketergantungan cara pandang (epistemic dependency), dan keterikatan pada sistem logistik kolonial (logistic colonial system) seperti ekonomi ekstraktif dan etika lingkungan. Sejarah penting untuk mengekstrapolasi masa depan dan mengoreksi kesalahan. Kehilangan identitas adalah sindrom yang umum, bahkan di negara-negara seperti Inggris. Pemimpin ideal adalah personifikasi dari nilai-nilai ideal bangsa.
Pendidikan Membuka & Menutup Masa Klasik
Sejarah dibagi menjadi prasejarah, masa klasik (abad 5-15), masa transisi (abad 16-17), dan era kolonial (abad 17-20). Bentuk ideal bangsa Indonesia ada di masa klasik, di mana potensi bangsa digunakan sepenuhnya. Masa klasik dimulai dengan pendidikan luar biasa di Sriwijaya, di mana bangsa asing belajar bahasa Sanskerta. Masa ini juga ditutup dengan pendidikan melalui kadewaguruan dengan berbagai cabang ilmu. Masa transisi menyebabkan hilangnya ingatan akan pendidikan tradisional, digantikan oleh mitos. Pendidikan modern dari Belanda kemudian masuk, tetapi ingatan tentang Sriwijaya dan kadewaguruan hilang. Abad ke-21 ditandai dengan upaya menggali kembali sejarah dan menemukan kembali masa klasik. Penerapan skala zaman penting untuk memahami sejarah, seperti memahami kekuatan kumbang badak dalam skala manusia. Di Jawa abad ke-8, barang berharga yang tertinggal di jalan tidak akan disentuh selama 3 bulan, menunjukkan standar moral yang tinggi.
Kepemimpinan Diponegoro
Diponegoro adalah personifikasi seorang pemimpin yang dapat dipelajari dari Babat Diponegoro, sebuah karya sastra yang diakui dunia. Dia adalah seorang mistikus yang digembleng oleh leluhurnya, dekat dengan rakyat kecil, dan tahan uji. Menderita adalah pupuk bagi seorang pemimpin. Diponegoro tidak berkompromi selama menjadi buronan dan mewariskan teladan yang luar biasa. Dia bukan seorang egotis, tetapi ikhlas. Diponegoro menerima penahanan dengan ikhlas dan beralih ke ranah spiritual, menjadi guru tasawuf di Fort Rotterdam. Leluhur selalu hadir dan tugas kita adalah menyambungkan nilai-nilai leluhur. Diponegoro sangat bersahaja dan keluarganya hidup dalam garis kemiskinan.
Legitimasi & Suara Rakyat
Legitimasi adalah hal abstrak yang mencekik ketika tidak ada. Di masa klasik, pemimpin mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sumber Tiongkok kuno menceritakan tentang pengangkatan seorang ratu oleh masyarakat. Prasasti Siwagha menceritakan bahwa Rakai Kayuwangi diangkat menjadi raja atas permintaan rakyat karena mampu memadamkan pemberontakan. Meskipun memiliki akar leluhur, perkenanan masyarakat tetap menjadi penentu. Contohnya adalah Ken Angrok yang harus membuktikan kemampuannya melalui peperangan. Pada masa Majapahit, Jayanegara tetap dikehendaki menjadi raja meskipun memiliki tindakan yang tidak layak. Rakyat memiliki suara yang didengarkan, terutama pada masa Hayam Wuruk. Sistem pemerintahan di masa klasik disebut Mandala, di mana wilayah kekuasaan seorang pemimpin bergantung pada kewibawaan dan kemampuannya. Meritokrasi berlaku, di mana seseorang harus membuktikan kepemimpinannya. Airlangga harus menaklukkan banyak wilayah untuk mendapatkan perkenan rakyat setelah kehancuran Kemaharajaan Medang.
Perempuan, Keterus-terangan, Etika Lingkungan
Sebelum era kolonial, masyarakat sangat terbuka dan terus terang. Perempuan seperti Gayatri, Ratu Kalinyamat, Kartini, Rukmini, dan panglima perang perempuan memiliki peran penting. Panglima Diponegoro yang ganas mampu meluluhlantakkan pasukan Belanda. Banyak perempuan bergabung dengan Diponegoro, bahkan mencukur rambut sebagai prajurit. Ratu Kipaten, eyang buyut Diponegoro, adalah seorang yang sangat khusyuk dan bersahaja. Hubungan dengan alam sangat dekat, di mana Diponegoro selalu membuat tempat meditasi yang berdekatan dengan alam. Dia memiliki teman seekor macan dan dekat dengan berbagai hewan. 75% Jawa adalah hutan, menunjukkan penghormatan terhadap alam. Diponegoro memiliki kemampuan untuk menebak karakter seseorang.
Ketidaksempurnaan Diponegoro
Diponegoro bukanlah orang yang sempurna. Dia memiliki mata keranjang, suka minum wine, dan merokok. Namun, dia adalah orang yang ikhlas. Seperti kata Rumi, kita memiliki dua mata air: satu dari pendidikan formal dan satu dari dalam diri sendiri. Diponegoro tidak ingin mendirikan dinasti dan ingin makamnya terpinggir agar tidak menjadi tempat ziarah.
Jangan Terjebak ‘Nobel Savage’
Penting untuk tidak jatuh pada kritik "noble savage" dengan meromantisasi masa lalu sebagai selalu benar. Meskipun ada konsep kesetaraan gender dan egalitarianisme, kesultanan dan kerajaan sangat hierarkis. Kekuasaan diberikan oleh lingkungan, dan agama monoteistik dari Barat membuat manusia memandang diri sebagai eksepsional dan mengekstraksi lingkungan. Kekuasaan raja bisa diambil sewaktu-waktu oleh alam. Prosesi labuhan adalah bentuk penghormatan terhadap lingkungan.
Epistemologi Khas Indonesia
Indonesia perlu bercerita keluar karena dunia memandang Indonesia sebagai lokus mineral dasar. Kapitan Cina Rembang Lim memberikan contoh etika "secukupnya" dengan tidak merampas semua aset dari lurah. Diponegoro juga percaya pada prinsip "secukupnya" dan menentang korupsi. Alam harus dihormati. Pengetahuan tentang alam diremehkan, seperti cara naturalis memaknai kegiatan vulkanik tanpa memahami kausalitas antara laut dan gunung. Cara kita memaknai alam berasal dari mitos dan cerita, karena tidak ada dikotomi antara sains dan mitos. Penting untuk menggali kontribusi kita dalam ilmu pengetahuan agar relevan di dunia geopolitik.
Axis Mundi
Raja-raja di masa lalu melindungi alam. Ada prasasti yang membatasi komoditas hewan dan mengenakan pajak pada pandai besi untuk melindungi alam dari limbah logam. Ada penjaga hutan dan hukuman berat bagi perusak alam. Masyarakat suku anak dalam menyanyikan lagu sebelum mengambil biji-bijian dari pohon sebalik sumpah. Undang-undang di masa Majapahit memberikan hukuman berat bagi kelalaian yang mengakibatkan kematian. Leluhur kita memiliki filosofi buana agung dan buana alit, di mana kita adalah bagian dari alam semesta. Apa yang terjadi di alam akan terjadi di tubuh kita. Sebelum revolusi industri, aksis mundi adalah spiritualitas. Setelah revolusi industri, aksis mundi adalah ekonomi dan hukum supply and demand, yang menyebabkan pengerukan alam tanpa batasan. Solusinya adalah menggabungkan nilai-nilai spiritualitas dengan ekonomi yang ramah lingkungan.

