Ringkasan Singkat
Video ini membahas tentang pentingnya Imam Ghazali sebagai tokoh yang relevan dalam menghadapi tantangan modernitas. Ceramah ini juga membahas tentang bagaimana menyeimbangkan akal dan wahyu, serta pentingnya membersihkan diri sebelum mencari kebenaran intelektual. Selain itu, video ini juga membahas tentang bahaya lidah dan bagaimana mengendalikannya.
- Relevansi Imam Ghazali dalam konteks modernitas.
- Keseimbangan antara akal dan wahyu.
- Pentingnya membersihkan diri sebelum mencari kebenaran.
- Bahaya lidah dan cara mengendalikannya.
Kembali Bersama Anda untuk Akhir Pekan Tahunan Kita
Pembicara menyambut kembali para peserta retret tahunan yang bertujuan untuk menghayati ajaran Imam Ghazali, bukan hanya mencatat poin-poin kuliah. Retret ini diharapkan menjadi waktu untuk beribadah, dengan masjid terbuka di malam hari dan niat untuk membaca Al-Qur'an setiap hari. Tujuannya adalah menjadikan masjid sebagai fokus utama, sehingga peserta dapat benar-benar merasakan manfaat dari retret ini.
Mengapa Imam Ghazali Memiliki Dampak dan Signifikansi yang Abadi
Pembicara mempertanyakan apakah Imam Ghazali, yang hidup sembilan abad lalu, masih relevan sebagai panutan bagi umat Muslim saat ini. Pertanyaan ini muncul karena tantangan modernitas yang sangat berbeda dengan zaman Imam Ghazali. Pembicara juga menyoroti bahwa Imam Ghazali adalah tokoh yang menarik bahkan bagi non-Muslim yang tertarik pada peradaban Islam.
Status Imam Ghazali Sebagai Pencari
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali adalah seorang pencari, dan ini relevan karena banyak orang saat ini juga menganggap diri mereka sebagai pencari. Modernitas sering kali didefinisikan oleh perjalanan tanpa akhir tanpa tujuan yang jelas. Tidak seperti peradaban pra-modern yang memiliki definisi yang jelas tentang kehidupan yang baik, modernitas tidak memiliki definisi yang disepakati dan berasumsi bahwa zaman keemasan umat manusia ada di masa depan.
Paradoks Kondisi Kita
Pembicara menjelaskan bahwa agama-agama tradisional skeptis terhadap proyek modernitas yang mengklaim dapat mencapai utopia melalui akal manusia. Agama berpendapat bahwa meskipun manusia mungkin meningkat dalam teknik dan penguasaan dunia fisik, kapasitas kesadaran dan kecerdasan manusia tetap statis. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kemajuan teknik dan kehidupan etika, menciptakan paradoks dalam kondisi kita.
Kembali ke Baghdad pada Abad ke-5 Kalender Islam
Pembicara mengajak pendengar untuk membayangkan diri mereka berada di Baghdad pada abad ke-5 kalender Islam, sebuah kota kosmopolitan dengan keberagaman agama dan budaya. Imam Ghazali hidup di tengah globalisasi awal dan perdebatan kompleks antara akal dan wahyu. Pembicara mempertanyakan apakah Imam Ghazali dapat menjadi pemikir agama yang berguna bagi mereka yang hidup di lingkungan pluralistik dan kosmopolitan saat ini.
Ketegangan Antara Akal dan Wahyu
Pembicara menjelaskan bahwa ada ketegangan antara akal dan wahyu, yang sering kali digambarkan sebagai perang antara keduanya. Namun, beasiswa terbaru tentang Imam Ghazali telah melampaui gagasan Pencerahan yang sederhana ini. Ada krisis kesadaran terkait dengan kondisi postmodern kita, yang sedikit sinis dan skeptis tentang kapasitas akal untuk membedakan kebenaran etika tanpa bantuan wahyu.
Misteri Kesadaran
Pembicara menjelaskan bahwa sains modern tidak dapat menjawab pertanyaan mendasar tentang hakikat diri. Imam Ghazali sangat sadar akan dirinya sendiri dan terlibat dalam murakabah untuk tingkat tertinggi, menganalisis keadaan batinnya. Kedalaman psikologis dan etika Imam Ghazali adalah konsekuensi dari kapasitasnya untuk pengetahuan diri.
Spiritualitas dalam Mencari Kebenaran
Pembicara menjelaskan bahwa filsuf Prancis, Foucault, berbicara tentang spiritualitas dalam hal kapasitas modernitas untuk mencari kebenaran tanpa memperhatikan pengetahuan diri. Dalam tradisi, pengetahuan diri dan pemurnian etika selalu dianggap sebagai langkah pertama dalam sistem agama atau mistik. Namun, pikiran modern terlepas dari konteks etisnya.
Dunia Intelektual Imam Ghazali di Baghdad
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali hidup di dunia intelektual yang kaya di Baghdad, sebuah kota dengan perpustakaan besar dan terjemahan karya-karya Yunani. Meskipun orang Yunani percaya pada alam supernatural, dunia mereka menantang banyak orang. Imam Ghazali adalah seorang yang penuh semangat dan polemik, yang peduli dengan keselamatan dirinya dan umat.
Gerakan Ismaili dan Tantangan Politik
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali hidup di zaman ketika dunia Islam mengalami perpecahan politik dan subversi yang parah. Gerakan Ismaili, yang berpusat di Kairo, menantang tatanan politik Sunni. Imam Ghazali prihatin dengan sisi teroris operasi Ismaili dan daya tarik ideologi mereka.
Doktrin Wahyu Radikal dalam Al-Qur'an
Pembicara menjelaskan bahwa Al-Qur'an mengandung doktrin wahyu radikal dan perintah untuk menggunakan akal. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah akal dapat bekerja tanpa wahyu, atau apakah fungsi akal hanya untuk memahami wahyu dengan lebih baik. Konflik antara kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah sebagian merupakan hasil dari argumen ini.
Warisan Yunani dalam Peradaban Islam
Pembicara menjelaskan bahwa warisan Yunani muncul dalam peradaban Islam dan membentuk kurikulum madrasah hingga saat ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana seseorang dapat belajar dari orang Yunani kuno jika mereka berpikir bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk dipelajari dari wahyu. Argumen ini diselesaikan dengan cara yang indah dalam peradaban Islam, yaitu dengan membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Proses Filtrasi Warisan Yunani
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali menjelaskan proses filtrasi warisan Yunani dengan lebih baik daripada siapa pun. Dia mengutip hadis yang mengatakan bahwa hikmah adalah hewan yang hilang dari orang beriman, dan di mana pun dia menemukannya, dia memiliki hak paling besar untuk itu. Imam Ghazali berpendapat bahwa jika sesuatu berguna untuk agama, maka itu harus dimasukkan, tetapi harus dilakukan oleh seorang ahli karena tradisi itu kompleks dan dapat disalahpahami.
Tujuan Para Filsuf
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali menulis "Maqasid al-Falasifa" (Tujuan Para Filsuf), yang merupakan parafrase dari salah satu karya besar Abu Ali ibn Sina. Karya ini menjadi manual yang sangat brilian dan diajarkan di seluruh dunia Kristen abad pertengahan. Namun, ini bukan keseluruhan cerita.
Ketidakkoherenan Para Filsuf
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali menulis "Tahafut al-Falasifa" (Ketidakkoherenan Para Filsuf), yang merupakan kritiknya terhadap para filsuf, khususnya Ibn Sina. Imam Ghazali tidak mengatakan bahwa dia menolak para filsuf secara keseluruhan, tetapi dia menentang posisi-posisi tertentu yang telah mereka adopsi. Buku ini mengambil bentuk 20 bab, yang masing-masing mengembangkan kritiknya terhadap pandangan tertentu dari para filsuf Arab.
Tiga Masalah yang Menyebabkan Kekafiran
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali berpendapat bahwa para filsuf terlibat dalam inovasi bid'ah dalam 17 masalah, tetapi dalam tiga masalah, mereka harus dianggap sebagai non-Muslim. Tiga masalah ini adalah ketidak diciptakannya dunia, keberlangsungan dunia selamanya, dan pengetahuan Tuhan tentang hal-hal partikular. Imam Ghazali berpendapat bahwa pandangan-pandangan ini tidak sesuai dengan Tuhan dalam Al-Qur'an.
Mengapa Beberapa Orang Tertarik pada Ide-Ide Tertentu
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali bertanya mengapa beberapa orang tertarik pada ide-ide tertentu daripada yang lain. Dia berpendapat bahwa orang-orang dipengaruhi oleh apa yang ingin mereka yakini dan oleh keadaan jiwa mereka. Ego sangat besar dalam menginformasikan pilihan filosofis orang.
Peran Ego dalam Pilihan Filosofis
Pembicara menjelaskan bahwa Al-Qur'an secara halus mendiagnosis masalah mendasar dengan rasionalitas dan filsafat, yaitu ego cenderung menggunakannya. Akal bukanlah sesuatu yang netral di udara, tetapi didorong oleh orang yang melakukan penalaran, dan sering kali orang yang mendorongnya adalah ego yang besar. Imam Ghazali berpendapat bahwa orang harus memilah diri mereka sendiri sebelum membuat pilihan filosofis.
Penjelasan Ihya tentang Bagaimana Anda Harus Memilah Diri Sendiri
Pembicara menjelaskan bahwa Ihya adalah penjelasan tentang bagaimana Anda harus memilah diri sendiri sebelum membuat pilihan filosofis. Anda harus melakukan semua ini sebelum Anda dapat masuk ke dalam hal-hal tentang siapa yang benar dan Platinus dan Aristoteles dan semua itu. Pastikan bahwa diri yang menggerakkan penggunaan akal Anda berada di bawah kendali, paradisal daripada infernal, malaikat daripada jahat.
Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Islam Sunni
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali menyadari poin yang dibuat oleh kaum Ismaili dan orang lain, yaitu bahwa argumen-argumen itu sulit dan seimbang. Imam Ghazali berpendapat bahwa alih-alih mengikuti imam yang tidak mungkin salah, Anda perlu mengaktifkan fitrah, mengatasi ego, dan kemudian merenungkan Al-Qur'an dan menggunakan akal. Hal ini menunjukkan kedekatan ilmu tasawuf dengan Islam Sunni.
Pentingnya Jiwa yang Damai
Pembicara menjelaskan bahwa kontribusi Imam Ghazali yang paling substansial bagi intelektualitas Islam adalah bahwa tidak ada intelektualitas yang akan berhasil kecuali Anda memiliki jiwa yang damai. Akal yang ada di dalam diri kita, yang merupakan hal yang luar biasa dan ajaib yang dapat membuat pilihan moral, bergantung pada hakikat diri. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa diri yang terdalam seimbang dan tidak dalam cengkeraman kemungkinan-kemungkinan yang lebih rendah.
Manusia Sebagai Kerajaan
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali menggambarkan manusia sebagai kerajaan yang diserang oleh musuh, yaitu keburukan dan nafsu. Untuk mengalahkan musuh-musuh itu, kita membutuhkan tentara, yaitu kebajikan, disiplin diri, dan pengetahuan. Dengan tentara-tentara itu, kita dapat membela diri dan menjadi manusia yang terintegrasi yang kemudian dapat memulai proses menjadi Muslim yang bertanggung jawab dan lengkap.
Struktur Internal Ihya
Pembicara menjelaskan bahwa Ihya dimulai dengan kitab pengetahuan, yang memiliki banyak hal tentang bahaya pengetahuan yang egois. Menjelang akhir Ihya, ada seluruh kitab yang mengutuk keegoisan dalam beasiswa. Buku ini diakhiri dengan kitab mengingat kematian, yang merupakan tempat yang tepat untuk mengibarkan warna Anda dalam perdebatan intelektual dan teologis.
Tantangan untuk Diri Kita Sendiri
Pembicara menjelaskan bahwa Ihya adalah tantangan untuk diri kita sendiri. Anda bisa seperti iblis atau Anda bisa seperti malaikat, Anda bisa seperti Muhammad, Anda bisa berada di atas atau di bawah. Manusia dapat menjadi yang paling mulia atau yang paling rendah dalam ciptaan. Jika Anda ingin naik daripada turun, Anda perlu memilah diri sendiri, mendisiplinkan nafsu, memperbaiki sifat-sifat karakter, dan menyembuhkan penyakit-penyakit hati.
Tujuan Imam Ghazali dalam Menulis Ihya
Pembicara menjelaskan bahwa tujuan Imam Ghazali dalam menulis Ihya adalah untuk memungkinkan kita menjadi penilai dunia luar yang seimbang, cerdas, dan bertanggung jawab, termasuk dunia akal dan argumen akal. Proses pemurnian batin tidak terpisahkan dari proses menggunakan akal untuk memahami. Wahyu memberi kita pengetahuan diri yang memungkinkan kita menggunakan akal dengan benar.
Tujuan Epistemologis Ihya
Pembicara menjelaskan bahwa meskipun Ihya adalah buku yang berisi obat untuk kesulitan spiritual atau doktrinal, ia memiliki agenda epistemologis lebih lanjut, yaitu untuk mengkonfigurasi ulang hati dan pikiran untuk memungkinkan subjek manusia membedakan kebenaran dari kepalsuan dengan benar. Apa yang menjauhkan kita dari kebenaran adalah nafsu dan keinginan. Krisis modern adalah mencari kebenaran tanpa memahami diri sendiri.
Hubungan Manusiawi
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali harus terlibat tidak hanya dengan masalah kebersihan spiritual pribadi, tetapi juga dengan masalah relasionalitas, yaitu hubungan manusiawi. Salah satu perbedaan yang paling sering dia buat dalam teks adalah antara ilmu mukasyafah dan ilmu muamalah. Ilmu mukasyafah berkaitan dengan akses langsung subjek manusia ke hal-hal yang tidak terlihat, sedangkan ilmu muamalah berkaitan dengan transaksi dan keterlibatan dengan orang lain.
Pentingnya Ucapan Manusia
Pembicara menjelaskan bahwa ucapan manusia merupakan salah satu hal yang membentuk apa artinya menjadi Bani Adam. Adam menerima kata-kata dari Tuhannya, dan dia bertobat kepada-Nya. Kemampuan untuk mengartikulasikan diri kita sendiri adalah fundamental bagi kemanusiaan. Wahyu datang dalam bentuk suara dan ayat-ayat dan kata-kata, bukan dalam bentuk sesuatu yang mungkin berdampak pada salah satu dari lima indra.
Kitab tentang Cacat Lidah
Pembicara menjelaskan bahwa banyak dari Ihya sebenarnya tentang hal-hal yang orang katakan, dan juga keadaan batin yang mungkin signifikan secara moral karena apa yang orang katakan sebagai akibatnya. Dia akan membahas kitab tentang cacat lidah, yang merupakan buku keempat dalam kuartal ketiga Ihya. Esensi dari kondisi manusia tidak berubah sejak zamannya, kita masih memiliki kecenderungan, keburukan, kebajikan, tubuh, dan masalah moral yang sama.
Berkat Ucapan
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali memulai kitab dengan pengingat tentang betapa luar biasanya berkat ucapan itu. Kita harus bersyukur kepada Allah karena telah memberi kita kapasitas yang luar biasa ini. Bagian dari diri kita yang paling kuat dan luar biasa, karena itu adalah bagian dari diri kita yang dengannya kita umumnya menjangkau jiwa-jiwa lain, adalah ucapan.
Bahaya Lidah
Pembicara menjelaskan bahwa lidah memiliki kapasitas luar biasa untuk melakukan kebaikan dan bidang operasi yang sangat besar dalam menyebabkan kejahatan. Siapa pun yang hanya menikmati manisnya lidahnya dan mengabaikannya dan tidak mengendalikannya, maka setan akan membawanya ke setiap arah yang mungkin dan membawanya ke jurang, sampai-sampai membawanya ke kehancuran. Seseorang hanya dapat aman dari kejahatan lidah dengan mengikatnya dengan kendali syariah.
Keutamaan Diam
Pembicara menjelaskan bahwa ada tradisi yang sangat kaya tentang refleksi tentang manfaat diam. Menjadi orang yang pendiam dan diam adalah sesuatu yang lebih dekat dengan sifat kontemplatif kita daripada keadaan ucapan yang konstan. Tidak ada keselamatan nyata dari bahaya lidah kecuali melalui diam. Untuk alasan ini, hukum yang diungkapkan telah memuji diam dan mendesak kita untuk diam.
Hadis tentang Diam
Pembicara menjelaskan bahwa ada sejumlah besar hadis tentang manfaat diam dan berhati-hati tentang apa yang dikatakan. Nabi Muhammad bersabda, "Barangsiapa menjamin kepadaku apa yang ada di antara bibirnya dan apa yang ada di antara kedua kakinya, aku akan menjamin surga baginya." Nabi juga bersabda, "Barangsiapa tidak meninggalkan dusta dan memberikan kesaksian palsu, Allah tidak membutuhkan dia untuk meninggalkan makanan dan minumannya."
Pentingnya Karakter yang Baik
Pembicara menjelaskan bahwa Nabi Muhammad ditanya, "Apa hal yang paling membawa orang ke surga?" Dia menjawab, "Takut kepada Allah dan karakter yang baik." Dia ditanya, "Apa hal yang paling sering membawa orang ke neraka?" Dia menjawab, "Dua hal yang berlubang, mulut dan alat kelamin." Nabi juga bersabda, "Iman seseorang tidak benar sampai hatinya benar, dan hatinya tidak benar sampai lidahnya benar, dan tidak seorang pun akan masuk surga yang tetangganya tidak aman dari kemalangannya."
Pentingnya Muraqabah
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali memulai kitab ini dengan bab tentang keutamaan diam untuk mengingatkan kita tentang pentingnya muraqabah, yaitu pemeriksaan diri. Kita perlu berhati-hati, dan jika ragu, kita harus diam. Jika kita tidak yakin apakah sesuatu yang ingin kita katakan bermanfaat atau tidak, maka hampir pasti lebih baik bagi kita untuk tetap diam.
Cacat Pertama: Berbicara tentang Apa yang Bukan Urusan Anda
Pembicara menjelaskan bahwa cacat pertama adalah berbicara tentang apa yang bukan urusan Anda. Bagian dari keindahan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan penting baginya, apa yang tidak relevan baginya. Jika alih-alih menghabiskan waktu untuk obrolan, Anda hanya terlibat dalam pemikiran dan kontemplasi, itu mungkin bertepatan dengan saat di mana Allah membuka berkat dan rahmat-Nya kepada Anda, yang akan memiliki dampak yang sangat besar.
Bahaya Obrolan Kosong
Pembicara menjelaskan bahwa betapa ruginya kita harus meninggalkan kemungkinan tasbih dan malah lebih memilih untuk terlibat dalam obrolan kosong. Ini adalah perumpamaan tentang orang yang tidak mengingat Allah dan malah menyibukkan diri dengan sesuatu yang diizinkan, tetapi yang sebenarnya bukan urusannya. Diam selalu menjadi konteks untuk refleksi.
Hadis tentang Meninggalkan Apa yang Bukan Urusan Anda
Pembicara menjelaskan bahwa ada hadis yang sangat terkenal yang mengatakan, "Bagian dari keindahan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang bukan urusannya." Nabi Muhammad bersabda, "Mungkin dia telah berbicara tentang sesuatu yang bukan urusannya dan mencegah sesuatu yang tidak membahayakannya."
Cacat Kedua: Ucapan yang Tidak Relevan
Pembicara menjelaskan bahwa cacat kedua adalah ucapan yang tidak relevan. Ini berkaitan dengan terjun ke dalam sesuatu yang tidak signifikan, dan melakukannya dengan panjang lebar. Jika Anda dapat mengatakan sesuatu dalam satu kata yang ditetapkan dalam dua kata, kata kedua tidak perlu.
Bahaya Era Elektronik Kita
Pembicara menjelaskan bahwa kita hidup di zaman obrolan yang tak ada habisnya. Kita hidup di zaman SMS yang tak ada habisnya, email yang tak ada habisnya, dan miliaran pelanggan Facebook. Kemungkinan untuk terganggu dengan mengirim seseorang pesan cuaca yang tidak terlalu signifikan seperti "Hari ini sangat dingin, bagaimana dengan Anda di Tokyo?" Kita sering melakukan itu, itu bukan benar-benar tentang muamalah, itu hanya bentuk gangguan yang mengubah keajaiban bayan menjadi bentuk pemborosan waktu.
Pentingnya Waktu Berkualitas
Pembicara menjelaskan bahwa lebih baik memiliki waktu berkualitas dan terlibat secara mendalam dengan orang-orang dengan mengirim surat yang tulus sesekali, daripada mengirim email standar yang dieja dengan buruk dan dikompresi secara telegrafis setiap jam. Setiap kali Anda melakukannya, itu adalah gangguan dari sesuatu yang seharusnya Anda lakukan.
Cacat Ketiga: Terjun ke dalam Kepalsuan
Pembicara menjelaskan bahwa cacat ketiga adalah terjun ke dalam kepalsuan, yang berarti berbicara tentang dosa. Ini termasuk berbicara tentang cara wanita, sesi minum anggur, perilaku orang-orang korup, dan tirani raja-raja dan upacara-upacara mereka yang tercela. Ini adalah apa yang Anda dapatkan di majalah Hello.
Bahaya Gosip
Pembicara menjelaskan bahwa sebagian besar percakapan sebenarnya adalah tentang gosip, berbicara tentang si ini melakukan sesuatu yang tidak benar dan siapa yang berkencan dengan siapa dan siapa yang mengenakan apa. Satu-satunya cara untuk melarikan diri dari terjun ke dalam percakapan yang tidak pantas adalah dengan memastikan bahwa seseorang membatasi diri pada apa yang benar-benar relevan dan perlu mengenai masalah agama atau kehidupan duniawi seseorang.
Hadis tentang Berbicara untuk Menyenangkan Orang Lain
Pembicara menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Seseorang mungkin mengucapkan sepatah kata untuk menghibur orang-orang yang duduk bersamanya, dan itu membawanya lebih jauh dari Pleiades." Orang-orang dengan dosa paling banyak pada hari penghakiman adalah mereka yang paling sering terjun ke dalam ucapan yang tidak pantas.
Pentingnya Menghindari Perdebatan tentang Sekte Vertikal
Pembicara menjelaskan bahwa Imam Ghazali tidak menyukai pengulangan dan kecaman tanpa akhir terhadap pandangan sekte vertikal, kecuali jika Anda melakukannya secara formal sebagai kewajiban Anda untuk membantahnya sebagai seorang sarjana. Obrolan tentang jenis Muslim lain adalah sesuatu yang sangat dia kecam.
Cacat Keempat: Argumentasi dan Perselisihan
Pembicara menjelaskan bahwa cacat keempat adalah argumentasi dan perselisihan. Kita perlu ingat bahwa Imam Ghazali adalah seorang pejuang, jadi apa yang dia bicarakan adalah jenis ucapan tertentu yang bersifat argumentatif yang berasal dari sifat suka bertengkar manusia, daripada yang berasal dari pembelaan yang tidak memihak terhadap agama Allah dan rasul-Nya.
Bahaya Egotisme dalam Perselisihan Agama
Pembicara menjelaskan bahwa ketika ego terlibat dalam perselisihan agama, selalu ada lebih banyak panas daripada cahaya. Hikmah diselubungi. Jika Anda membela sesuatu yang benar, tetapi ego Anda terlibat, hikmah dari kasus yang Anda buat hilang dan fitnah tidak dapat dilindungi.
Tiga Kualitas yang Membawa pada Iman Sejati
Pembicara menjelaskan bahwa ada tiga kualitas yang jika hadir dalam diri seseorang menyebabkan dia mencapai hakikat iman yang sejati: berpuasa di musim panas, memastikan bahwa shalat dilakukan pada awal waktunya, dan bersabar dalam menghadapi kemalangan, dan melepaskan perselisihan bahkan ketika dia benar.